“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya”.
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”, dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama Al-Qur’an tersebut mengisyratkan bahwa menuntut ilmu adalah suatu perintah yang wajib dilaksanakan oleh manusia, sebagaimana Nabi Muhammad yang menuruti perintah Malaikat Jibril tentang peristiwa di gua hira.
Selanjutnya ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu Pengetahuan. Allah mengajar dengan pena atau bacaan (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan mengajar manusia tanpa pena (apa yang belum di ketahui manusia). Dalam kata lain dinamakan pencarian melalui kasbi dan ladunni.
Ilmu dapat meningkatkan keimanan seseorang, karena selain membuktikan kebenaran Alqur’an terhadap pengetahuan alamiah yang ilmiah, juga dapat menjadikan karakter seseorang yang berkepribadian mulia, sehingga dapat memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Namun penggunaan ilmu yang tidak berdasarkan Alqur’an hanyalah akan mendapatkan kehampaan bahkan kesesatan yang berbahaya baik di dunia maupun di akirat.
A. Konsep Ilmu dalam Al Qur’an
1. Pengertian dan Keutamaan Ilmu
Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.[1]
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang terbaca dalam pustaka menunjuk sekurang-kurangnya pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Diantara para filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan.[2] Jadi pada umumnya ilmu diartikan sebagai sejenis dengan pengetahuan, akan tetapi tidak semua pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu. Karena mungkin saja pengetahuan tersebut tidak berdasarkan pada metode ilmiah.
Para ulama menyimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib, sesuai dengan jenis ilmu yang akan dituntut. Inilah hukum dasar menuntut ilmu, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: “Menunut ilmu hukumnya wajib bagi orang islam (HR. Ibnu Majjah)
Peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ (الزمر: 9)
Artinya : "Katakanlah :"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)
Allah SWT juga berfirman:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(آل عمران: 18)
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang menyatakan tiada yang berhak disembah selain Allah adalah dzat Allah sendiri, lalu para malaikat dan para ahli ilmu. Diletakkannya para ahli ilmu pada urutan ke-3 adalah sebuah pengakuan Allah SWT, atas kemualian dan keutamaan para mereka.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 11)
Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.[3]
2. Pandangan Ulama tentang Pentingnya Ilmu
Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.[4]
Abu Aswad berkata :
وقال أبو الأسود: ليس شيء أعز من العلم، الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك
Artinya : “tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak menghakimi manusia, sementara ulama bertindak menghakimi kerajaan”[5]
Dari perkataan abu Aswad tersebut dapat diambil ibroh bahwa ketika sistem kepemerintahan dikendalikan oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan lancar dan sejahtera. Artinya ilmu sangat penting untuk bisa mengendalikan tatanan kenegaraan yang sistematis.
Ali bin Abi Thalib berkata kepada Kumail:
“Wahai Kumail, ilmu itu lebih utama dari pada harta karena ilmu itu menjagamu, sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu adalah hakim, sedang harta adalah yang dihakimi. Harta menjadi berkurang jika dibelanjakan, sedangkan ilmu akan berkembang dengan diajarkan kepada orang lain”.[6]
3. Tujuan Menuntut Ilmu
a. Memperbaiki Diri
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut : 69)
Antara tujuan utama kita dalam menuntut ilmu adalah agar dapat memperbaiki diri. Memperbaiki diri bermaksud berusaha bersungguh-sungguh untuk menambah ilmu pengetahuan serta membawa ibadah dan juga taraf kehidupan ke tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan menuntut ilmu kita secara tidak langsung bukan saja mendapat petunjuk, malah dipimpin ke jalan yang lurus.
b. Mensyukuri nikmat Allah yang Maha Agung
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman; dan mereka berdua bersyukur dengan berkata: "Segala puji tertentu bagi Allah yang dengan limpah karuniaNya memberi kami kelebihan mengatasi kebanyakan hamba-hambaNya yang beriman". (QS. An-Naml : 15)
Walaupun ayat berkenaan tentang ilmu yang diberikan kepada Nabi Daud a.s dan Nabi Sulaiman a.s, namun lafaznya umum. Antara nikmat terbesar yang dikurniakan kepada manusia adalah nikmat akal untuk belajar dan memahami ilmu dalam menjalani kehidupan di dunia dan persediaan untuk akhirat. Maka antara tujuan kita dalam usaha menuntut ilmu adalah sebagai tanda syukur atas segala macam nikmat-Nya.
Dengan ilmulah kita mengenal cara melaksanakan ibadah dan kategorinya, dengan ilmu kita mengenal kebaikan dan kejahatan, dan dengan ilmu juga kita mengetahui tentang dunia dan akhirat. Maka wajiblah kita bersyukur atas nikmat yang tak terhingga ini, yaitu nikmat akal dan ilmu pengetahuan.
c. Menegakkan Agama Islam
“Dan tidaklah (betul dan elok) orang-orang yang beriman keluar semuanya (pergi berperang); oleh itu, hendaklah keluar sebahagian sahaja dari tiap-tiap puak di antara mereka, supaya orang-orang (yang tinggal) itu mempelajari secara mendalam ilmu yang dituntut di dalam agama, dan supaya mereka dapat mengajar kaumnya (yang keluar berjuang) apabila orang-orang itu kembali kepada mereka; mudah-mudahan mereka dapat berjaga-jaga (dari melakukan larangan Allah)”. (QS. At-Taubah : 122)
Menegakkan agama Islam bermaksud memuliakan, mengamalkan perintah dan larangannya, melaksanakan hukum-hukumnya, dan menyebarkannya dengan cara melalui umat Islam yang beriman, beramal soleh dan berpendidikan, mampu memerintah, adil dan mampu memikul tanggungjawab sebagai hamba dan khalifah Allah yang Maha Tinggi di muka bumi.
4. Objek Ilmu dan cara Memperolehnya
Obyek ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu alam materi dan alam non materi. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga mereka membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengetahui adanya realita yang tidak dapat dibuktikan dialam materi.
Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui sesuatu terdiri atas tiga macam, yaitu indera, akal, dan hati.[7] Sebagaimana yang termaktub dalam surat an-Nahl: 78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.
Ø Pengamatan Melalui Indera
Al-Qur’an menjelaskan adanya pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan cara mengamati. Dalam surat al-Ankabut : 20, Allah SWT menyuruh manusia untuk berjalan di muka bumi dan memerhatikan percipataan manusia. Dalam surat Yunus : 101, Allah SWT memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan memerhatikan apa yang ada di bumi.
Namun tidak semua pengetahuan yang hendak diketahui dapat diperoleh dengan indera. Karena keterbatasan kemampuan inderawi, manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang ada dibalik penangkapan indera tersebut. Karena itu, Allah SWT mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk memeroleh pengetahuan lebih dalam, Allah SWT berfirman : “dan ingatlah ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya,” (QS al-Baqarah : 55).
Ø Pengamatan Melalui Akal
Keterbatasan dan kelemahan indera, disempurnakan oleh akal. Akal dapat mengoreksi kesalahan pengetahuan inderawi sebab akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui objek-objek abstrak yang logis. Seperti halnya pengetahuan bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa dan Maha Penyayang diperoleh dengan menggunakan akal, bukan dengan menggunakan indera.
Ø Pengamatan Melalui Suara Hati
Selain indera dan akal, potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui pengetahuannya adalah potensi hati. Atau menurut Imam al-Ghazali yang disebut dhamir. Potensi ketiga ini dapat memberi peluang kepada manusia untuk memeroleh pengetahuan dengan lebih baik. Jika akal hanya dapat mengetahui objek abstrak yang logis, potensi hati dapat mengetahui objek abstrak yang supra logis (ghaib).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa pengetahun yang diterima para nabi dan Rasul Allah, bukanlah melalui indera dan akal, melainkan melalui hati yang disebut wahyu. Sebagaimana dalam firman-Nya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. asy-Syu’ara : 52).
B. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al Qur’an
Ilmu pengetahuan atau sains, secara singkat dapat dirumuskan sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengajian dan dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar.[8] Jadi dapat dikatakan bahwa sains adalah himpunan rasionalitas kolektif insani.
Pandangan Al Qur’an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya”. (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
Surat Al-Alaq 1-5 merupakan dasar sains dan teknologi dalam Islam. Allah memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji dan membahas dengan kemampan intelektual. Surat ini merangsang daya kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan menulis (memperdalam sains dengan meneliti) menjadi interen Islam dan penguasaan, dan keberhasialan suatu penelitian atas restu Allah.[9]
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Artinya, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. inilah yang disebut ilmu laduni.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita.[10] Secara lebih rinci pengamatan-pengamatan benda disekitar kita dapat penulis paparkan pada bagian hakikat ilmu pengetahuan. Dimana hakikat tersebut mempunyai keterpaduan antara sains dengan Al qur’an.
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan
a. Alam Semesta
- Pandangan terhadap Alam Semesta
Pandangan klasik
Pada dasarnya pandangan ini mengatakan bahwa langit yang begitu luas dengan benda-benda didalamnya, dianggap mengelilingi bumi. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Galileo yang mengatakan bahwa semua benda langit berputar mengelilingi matahari.
Pandangan modern
Dari perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan gerak masing-masing galaksi yang teramati, para fisikawan kosmolog menarik kesimpulan bahwa semua galaksi di alam ini semula bersatu padu dengan galaksi Bimasakti, kira-kira 15 milyar tahun yang lalu.[11]
Dahulu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
Pandangan Al qur’an
Hasil penelitian modern ternyata senada dengan firman Allah : “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” [Al Anbiyaa:30]
b. Kesetimbangan Benda Langit
Tegaknya langit yaitu segala apa yang ada di luar bumi, dengan kokoh dan rapi, yang sudah berjalan beberapa milyar tahun menunjukkan adanya semacam medan gaya tertentu yang bekerja secara tetap didalam jagad ini.[12] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dengan firmannya :
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”. (QS. al-Rahman : 7)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. (QS. Faathir : 41)
Ayat-ayat diatas menyatakan adanya semacam gaya penahan yang membawa kepada kesetimbangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak. Realitas kesetimbangan ini sangat nyata dan sudah diakui kebenarannya oleh umat manusia. Para ahli fisika sudah cukup lama mengenal gaya grafitasi antara benda-benda bermassa yang bekerja secara luas dalam alam ini.[13]
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu” [QS. Yunus :92].
Maurice Bucaille dulunya adalah peneliti mumi Fir’aun di Mesir. Pada mumi Ramses II dia menemukan keganjilan, yaitu kandungan garam yang sangat tinggi pada tubuhnya. Dia baru kemudian menemukan jawabannya di Al-Quran, ternyata Ramses II ini adalah Firaun yang dulu ditenggelamkan oleh Allah swt ketika sedang mengejar Nabi Musa as.
Injil dan Taurat hanya menyebutkan bahwa Ramses II tenggelam, tetapi hanya Al-Quran yang kemudian menyatakan bahwa mayatnya diselamatkan oleh Allah swt, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Perhatikan bahwa Nabi Muhammad saw hidup 3000 tahun setelah kejadian tersebut, dan tidak ada cara informasi tersebut (selamatnya mayat Ramses II) dapat ditemukan beliau (karena di Injil dan Taurat pun tidak disebut). Makam Fir’aun, Piramid, yang tertimbun tanah baru ditemukan oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni tahun 1817. Namun Al-Quran bisa menyebutkannya karena memang firman Allah swt (bukan buatan Nabi Muhammad saw).
d. Gunung yang Bergerak
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” [QS An-Naml : 88]
Pada 14 abad lampau seluruh manusia menyangka gunung itu diam tidak bergerak. Namun dalam Al Qur’an disebutkan gunung itu bergerak. Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma yang lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi.
e. Makhluk Hidup
Menurut Teori evolusi yang dipelopori oleh seorang ahli zoologi bernama Charles Robert Darwin (1809-1882). Dalam teorinya ia mengatakan : "Suatu benda (bahan) mengalami perubahan dari yang tidak sempurna menuju kepada kesempurnaan". Kemudian ia memperluas teorinya ini hingga sampai kepada asal-usul manusia.
Menurut Darwin manusia sekarang ini adalah hasil yang paling sempurna dari perkembangan tersebut secara teratur oleh hukum-hukum mekanik seperti halnya tumbuhan dan hewan. Kemudian lahirlah suatu pengertian bahwa manusia yang ada sekarang ini merupakan hasil evolusi dari kera-kera besar (manusia kera berjalan tegak) selama bertahun-tahun dan telah mencapai bentuk yang paling sempurna.
Sementara menurut umat Islam mengakui dan meyakini bahwa proses pembentukan manusia ada empat macam, yakni penciptaan Nabi Adam as, Siti Hawa, Nabi Isa as, dan manusia biasa.
Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya : “Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”. (QS. As Sajdah (32) : 7) “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. (QS. Al Hijr (15) : 26)
2. Penggunaan Ilmu Pengetahuan
Alqur’an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai kebenaran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini, melainkan lebih jauh dari itu adalah untuk mencapai keselamatan, ketenangan, serta kebahagiaan hidup dibalik kehidupan dunia yang fana ini, yaitu kehidupan di akhirat. “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”. (QS. Ar-Rum : 6-7). “Bukankah akhirat itu lebih baik dari pada (yang) pertama (dunia)”. (QS. Ad-Duha:3)
Penggunaan sains tergantung pada diri masing-masing bila penggunaannya tidak sesuai dengan tujuannya akan mendatangkan madhorot, tapi bila penggunaan yang tepat sasaran akan memberikan manfaat yang lebih besar pada kehidupan manusia dan hal ini akan mendapat restu Allah.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa hakikat ilmu pengetahuan dalam Al qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia.
Ilmu adalah sesuatu yang mulia yang wajib dicari oleh setiap manusia. Disamping itu manusia memliki naluri yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dua keinginan yang tidak akan pernah puas, yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.
Ketidakpuasan pencarian ilmu selain untuk membuktikan kebenaran Alqur’an secara ilmiah juga untuk membentuk karakter seseorang agar bisa mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sementara ketidakpuasan pencarian harta dimana penggunaan ilmu tidak pada semestinya maka hanyalah akan menjuruskan pada madhorot.