Assalamualaikum wbt,
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”
Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.
Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.
Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”
Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.
Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.